SYARAT
KALIMAT DAN ALAT PENGETESNYA
oleh
Meilinda Purnama
Sari
purnamasarimeilinda@gmail.com
meilindapurnamasari.blogspot.com
ABSTRAK
Dalam proses komunikasi kita di tuntut
memiliki bahasa Indonesia dengan baik agar dapat menghasilkan kalimat-kalimat
yang gramatikal dalam ekspresi ataupun komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Persyaratan
pokok dalam penentuan sebuah pernyataan berupa kalimat atau bukan,yaitu : 1) Adanya unsur
predikat,
2) Permutasi
unsur kalimat. Kedua hal itu dapat dijadikan alat pengetes. Persyaratan
kalimat ada pada bentuk tulisan berupa huruf kapital, diakhiri tanda titik,
tanda seru, dan tanda tanya. Setiap kalimat dalam struktur lahirnya lisan atau
tulis sekurang-kurangnya memiliki predikat. Dengan kata lain, jika suatu
pernyataan memiliki predikat, pernyataan itu merupakan kalimat, sedangkan suatu
untaian kata yang tidak memiliki predikat maka disebut frasa.
KATA
KUNCI
PENDAHULUAN
Menurut Hasan Alwi dkk
dalam (Abud Prawirasumantri 2011:8) Kalimat adalah satuan bahasa terkecil yang
dapat mengungkapkan pikiran yang utuh. Pikiran yang utuh itu dapat
diekspresikan dalam bentuk lisan ataupun tulisan.
Dalam bentuk tulisan : kalimat yang ditandai dengan alunan titik
nada, keras lembutnya suara, disela jeda, dan diakhiri dengan nada selesai.
Dalam bentuk tulisan : kalimat dimulai
dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda seru, atau tanda
tanya.
Seorang pelajar sering tidak
memperhatikan kalimat yang dibuatnya sehingga kalimatnya tidak memenuhi kaidah
pembuatan kalimat yang benar. Pelajar hendaknya memiliki wawasan bahasa Indonesia
yang memadai agar ia dapat menghasilkan kalimat yang gramatikal, baik dalam
komunikasi lisan ataupun tulis.
Dalampenulisan tugas, penulis dituntut
untuk memiliki kemampuan dalam penyusunan kalimat baku dan kalimat eferktif.
Kebakuan kalimat ditandai dengan adanya penerapan kaidah kalimat bahasa
indonesia baku. Keefektifan kalimat ditandai oleh ketepatan kalimat untuk
mewakili gagasan yang sama tepat dalam pikiran pembaca.
Syarat
Kalimat dan Alat Pengetesnya
Dalam proses komunikasi
kita di tuntut memiliki bahasa Indonesia dengan baik agar dapat menghasilkan
kalimat-kalimat yang gramatikal dalam ekspresi ataupun komunikasi, baik lisan
maupun tulisan, dan kita dapat mengenali kalimat-kalimat yang dihasilkan orang
lain apakah gramatikal atau tidak. Maka dalam hal ini, kita harus memahami persyaratan
pokok dalam penerapan sebuah pernyataan berupa kalimat atau bukan, dengan cara:
1) Adanya unsur predikat 2) Permutasi unsur kalimat.
Setiap kalimat dalam
struktur lahirnya lisan atau tulis sekurang-kurangnya memiliki predikat. Dengan
kata lain, jika suatu pernyataan memiliki predikat, pernyataan itu merupakan
kalimat, sedangkan suatu untaian kata yang tidak memiliki predikat maka disebut
frasa. Untuk menentukan predikat sutau kalimat, dapat dilakukan pemeriksaan
apakah verba (kata kerja) dalam untaian kata itu.
Contoh :
1)
Burung itu terbang.
2)
Hamparan padi itu menguning.
3)
Anak itu belajar.
4)
Orang itu menulis surat.
Pada contoh itu ada
verba 1) terbang, 2) menguning, 3) belajar dan 4) menulis. untuk mengetahui
verba keempat tersebut sebagai predikat atau bukan, perlu dilakukan tes
permutas (perubahan urutan) unsur-unsur pernyataannya.
1a) Terbang // burung
itu.
2a) menguning //
hamparan padi itu.
3a) belajar // anak
itu.
4a) menulis surat
//orang itu.
Tentunya, perubahan
urutan itu disertai perubahan intonasi (lagu kalimat). Dalam contoh (1a, 2a,
3a, dan 4a) tanda garis miring ganda (//) menandai batas satuan (unit), yaitu
unsur yang dicalonkan sebagai predikat dan unsur yang dicalonkan sebagai
subjek. Karena perubahan urutan itu tidak mengubah informasi dasar, contoh 91,
2, 3, dan 4) itu adalah kalimat.
Namun perhatikan contoh berikut.
5)
Anak yang belajar itu 5a) yang belajar itu // anak
Jika contoh (5) itu
dipisahkan unsurnya menjadi anak dan
yang belajar itu serta dipermutasikan
menjadi yang belajar itu // anak, tampaknya ada perbedaan makna.
Contoh (5) tampaknya tidak dapat dipisahkan seperti itu karena maknanya kurang
lebih seperti terlihat jika contoh (5) itu dilengkapkan menjadi (5) anak yang belajar itu (berteriak) dan
intonasinya pun tidak diputuskan, tetapi menjadi satu. Kata berteriak (yang ditambahkan itu)
merupakan predikat dan yang mendahuluinya sebagai subjek sementara itu, contoh
(5) yang diubah urutannya menjadi (5a) maknanya terlihat jika ditambahkan unsur
pembanding. Jika makna (5a) ialah ‘yang belajar itu anak (bukan monyet)’. Oleh
karena itu (5) dan (5a) berbeda informasinya. Dengan demikian itu bukankalimat tetapi
frasa yang terdiri atas nomina anak dan pewatas yang belajar itu (bukan anak
yang bermain). Jadi walaupun kata belajar
verba, karena didahului penghubung yang, verba belajar itu bukan predikat,
melainkan pewatas nomina seperti halnya adjektiva (kata sifat) pada frasa anak yang pandai.
Pada contoh (6) berikut
tidak trdapat verba, tetapi terdapat nomina (kata benda) yang mengisi tempat predikat.
(6) Wanita itu //
pedagang (6a) pedagang //
wanita itu
Kata pedagang memiliki
ciri sebagai predikat dan contoh (6) itu merupakan kalimat. Selain verba dan
nomina, predikat suatu kalimat dapat pula berupa adjektiva (kata sifat).
(7) Gadis itu cantik (7a) cantik // gadis itu
Contoh (7) itu dapat diubah urutannya
menjadi (7a) tanpa perubahan informasi. Oleh karena itu, contoh (7) itu
merupakan kalimat.
(8) gadis yang cantik
itu (8a) yang cantik itu // gadis
Perubahan dari (8)
menjadi (8a) menimbulkan perubahan makna. Pada (8a) maknanya menjadi ‘yang
cantik itu gadis (bukan janda).’ Padahal, pada (8) makananya adalah ‘gadis yang
cantik itu (bukan gadis yang biasa-biasa saja).’
Perbedaan kalimat dan
frasa dapat kita lihat dalam pengertian frasa. Frasa adalah gabungan dua kata
atau lebih yang sifatnya tidak predikatif, gabungan itu dapat rapat, dapat
renggang; misal gunung tinggi adalah frasa karena merupakan konstruksi
nonpredikatif; kontruksi ini berbeda dengan gunung itu tinggi yang bukan frasa
karena bersifat predikatif. Harimurti Kridalaksana dalam (Abud Prawirasumantri 2011:89)
Dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
KALIMAT
|
FRASA
|
|||
SUBJEK
|
PREDIKAT
|
OBJEK
|
INTI
|
PEWATAS
|
Anak itu
|
Belajar
|
|
Anak
|
Yang belajar itu
|
Orang itu
|
Menulis
|
Surat
|
Orang
|
Yang menulis surat itu
|
Wanita itu
|
Pedagang
|
|
Wanita
|
Yang pedagang itu
|
Gadis itu
|
Cantik
|
|
Gadis
|
Yang cantik itu
|
Dari contoh-contoh yang
telah dibicarakan tersebut terlihat bahwa suatu pernyataan merupakan kalimat
jika pernyataan itu dapat dibagi menjadi dua unsur. Dalam bentuk lisan (atau
kalau dibaca), dua unsur itu dipisah jeda yang ditandai oleh pergantian dari intonasi
naik ke intonasi datar (pada contoh-contoh di atas ditandai dengan garis miring
ganda //). Relasi kedua satuan itu dinamakan relasi prediktif, yaitu relasi
yang memperlihatkan hubungan subjek dan predikat atau dengan
objek/pelengkap.sebaliknya, suatu unsur disebut frasa jika unsur itu terdiri
atas dua kata atau lebih – idak tidak terdapat predikat di dalamnya – dan satu
dari kata-kata itu sebagai inti serta yang lainya sebagai pewatas/penjelas.
Biasanya frasa itu mengisi tempat subjek, predikat, objek, pelengkap, atau
keterangan. Relasi kata yang menjadi inti dan kata yang menjadi
pewatas/penjelas ini dinamakan atributif. Contoh lain adalah sebagai berikut.
(9) anak kecil itu //
pandai sekali → pandai sekali // anak kecil itu.
Unsur anak kecil itu (subjek) yang menjadi
intinya adalah anak karena dalam
unsur itu dapat ditiadakan dan kata itu dapat mewakili unsur itu sebagai subjek
(lihat 9a, 9b). Demikian juga,pandaisekali
intinya adalah pandai karena kata pandai tidak dapat ditiadakan dan kata
itu dapat mewakili unsur itu sebagai predikat (lihat 9a, 9c)
(9a) anak itu //
pandai. → pandai // anak itu.
Tidak dapat dikatakan:
(9b)
*kecil itu // pandai sekali.
(9c)*Anak
kecil itu // sekali. (Artinya tidak sama dengan 9)
Dalam
hubungan dengan frasa ini ada dua pola susunan frasa, yaitu (1) inti terletak
di kiri pewatas dan (2) inti di kanan pewatas artinya, (1) kata yang di depan
adalah kata yang diterapkan (D) dan kata yang menyertainya adalah kata yang
menerangkan (M) dan (2) kata yang di depanya adalah kata yang menerapkan (M)
dan kata yang menyertainya adalah kata yang diterapkan (D).
Hubungan kata dalam frasa tampak pada
tabel berikut.
INTI
(D)
|
PEWATAS
(M)
|
Anak
|
Kecil
|
Pandai
|
Sekali
|
Merah
|
Muda
|
Rumah
|
Besar
|
Paman
|
Saya
|
Rajin
|
Betul
|
Meja
|
Itu
|
Bagus
|
Benar
|
Kitab
|
Suci
|
PEWATAS
(M)
|
INTI (D)
|
Sangat
|
Baik
|
Selembar
|
Kertas
|
Amat
|
Cepat
|
Para
|
Guru
|
Sungguh
|
Indah
|
Sudah
|
Dewasa
|
Akan
|
Datang
|
Masih
|
Belajar
|
Ingin
|
Makan
|
kata itu juga dapat dipakai untuk menentukan unsur subjek dan predikat kalimat, terutama jika subjek dan predikat kalimat itu berupa nomina. Misalnya:
(10)
kuda itu // binatang → Binatang // kuda itu.
Kata kuda dan binatang, keduannya termasuk nomina. Nomina mana sebagai subjek dan
nomina mana sebagai predikat pada (10) itu? Dalam hal ini, nomina yang tidak
disertai itu adalah predikat,
sedangkan nomina yang disertai kata itu sebagai subjek. Jadi contoh (10) itu
predikatnya adalah binatang dan
subjeknya ialah kuda itu. Hal itu
dapat dibuktikan dengan menempatkan kata itu pada kata binatang, meskipun urutan kata itu sama dengan (10), pemindahan
kata itu menyebabkan perbedaan makna.
(10)
kuda itu binatang.
(10a)
kuda // binatang itu.
Perubahan
pada (10a) itu memperlihatkan bahwa kata kuda
(yang tidak disertai kata itu) sebagai predikat (walaupun terletak didepan),
sedangkan kata binatang (yang
disertai kata itu) adalah subjek.
Kata adalah, ialah, dam merupakan juga dapat digunakan sebagai penanda suatu kalimat.
Dengan kata lain, suatu pernyataan yang di dalamnya terdapat satu dari tiga
kata itu menunjukan bahwa pernyataan itu merupakan kalimat.
(11) Neutron adalah partikel tanpa muatan listrik
Kalimat (11) adalah kalimat definisi. Dalam hal itu
kata adalah masih dapat digantikan
dengan kata ialah, tetapi tidak dapat
diganti dengan merupakan. Penggantian
adalah dengan merupakan menimbulkan perbedaan informasi, yaitu menimbulkan makna
kalimat (11) itu sebagai definisi/uraian tentang neutron. Kata itu tidak dapat diposisikan dengan makna pasif ‘neutron dirupakan oleh partikel tanpa muatan
listrik’. Sedangkan pemakaian adalah atau ialah mempunyai makna ‘neutron sama dengan partikel tanpa muatan
listrik’.
Kebanyakan pernyataan
yang menggunakan adalah merupakan
batasan (definisi), sedangkan penanda predikat ialah lebih banyak membuat nomina (sesuatu) disebelah kiri (subjek)
identik (sama) dengan nomina (sesuatu) disebelah kanan tanda predikat ialah. Namun, kadang-kadang penanda
predikat adalah dan ialah dapat dipertukarkan, sedangkan penanda predikat
merupakan kebanyakan dipakai untuk mendeskripsikan/menguraikan nomina (sesuatu)
yang ada disebelah kiri penanda predikat merupakan.
Kata adalah dan ialah dalam contoh berikut bukan penanda predikat.
(12) kita memiliki
jaminan, ialah rumah, mobil, dan tabungan.
(13) ada tiga unsur yang harus diperhatikan dalam
pendidikan adalah sekolah, orang tua, dan masyarakat.
Kata ialah itu bukan penanda predikat, predikat
kalimat (12) itu adalah memiliki.
Pemakaian kata ialah itu tidak tepat,
seharusnya dalam struktur seperti (12) itu digunakan kata yaitu atau yakni yang
berfungsi menjadi penghubung antar penjelasan (perincian) sesuatu yang telah
disebut terlebih dahulu. Demikian juga kalimat (13). Kedua kalimat itu diubah
sebagai berikut.
(12a) Kita memiliki
jaminan, → yaitu/yakni → rumah,
mobil, dan tabungan.
(13a) Ada
tiga unsur yang harus diperhatikan dalam pendidikan, → yaitu/yakni → sekolah, orang tua, dan masyarakat.
Bagian kalimat setelah
kata yaitu/yakni merupakan penjelas
(pemerinci) kata (12) jaminan,
sebaliknya, kata yaitu dan yakni
bukan merupakan ciri predikat.
Dari ulasan tentang
kalimat yang telah dikemukakan tersebut, dapat dikatakan bahwa suatu pernyataan merupakan kalimat jika di
dalamnya pernyataan itu terdapat predikat dan subjek, baik disertai objek,
pelengkap, atau keterangan maupun tidak, bergantung kepada tipe verba predikat
kalimat tersebut. Jika ditulis, kalimat diawali dengan huruf kapital dan
diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru. Namun, kalimat
perintah yang berupa larangan tidak diakhiri tanda baca. Dengan kata lain,
dalam ragam bahasa tulisan diakhiri tanda baca. Dengan kata lain, dalam ragam
bahasa tulisan untaian kata yang diawali dengan huruf kapital pada awal kata
pertama dan diakhiri dengan tanda titik, tanda seru, atau tanda tanya adalah
kalimat menurut pengertian kaidah ejaan. Berikut dikemukakan dalam pedoman umum
ejaan yang baik dan benar dalam pemakaian tanda baca.
Diakhiri
tanda titik
(14) Atom adalah satuan terkecil dari satuan elemen
kimia yang masih mempunyai identitas elemen tersebut.
(15) Afrika Selatan sedang dilanda musim panas.
Diakhiri
tanda tanya
(16) Apakah peperangan tidak dapat dihentikan?
(17) Dapatkah senjata nuklir dihapuskan?
Diakhiri
tanda seru
(18) Hentikan peperangan!
(19) Tulis semau kamu!
Tidak diakhiri tanda baca apa pun
(20) Dilarang meroko
(DILARANG MEROKO)
(21) Harap antre (HARAP ANTRE)
Apa yang telah
dijelaskan tersebut adalah pengertian kalimat dilihat dari segi kelengkapan
unsur gramatikal kalimat ataupun
makna untuk kalimat yang dapat mandiri, kalimat yang tidak terikat pada unsur
lain dalam penggunaan bahasa. Di dalam kenyataan penggunaan bahasa sehari-hari
– terutama ragam bahasa lisan – terdapat tuturan yang hanya terdiri atas unsur
subjek, predikat, objek, atau keterangan saja.
Seperti conoh:
A: Ayah ada di rumah?
(subjek, predikat, dan keterangan)
B: Pergi. (Predikat
saja)
A: Ibu? (Subjek saja)
B: Ke pasar. (Keterangan
saja)
B: Anda mau menunggu?
(Subjek dan Perdikat)
A: Ya! (Subjek saja)
B: Silahkan masuk!
(predikat saja)
A: Terima kasih,
(Subjek saja)
B: Duduk! ( predikat)
A: Asiyk benar, sedang
baca apa? (keterangan, predikat, dan objek)
B: Novel baru. (objek
saja)
B: Oh ya, minum kopi? (
predikat dan objek)
A: Boleh. (keterangan
predikat saja)
Walaupun
pernyataan-pernyataan tersebut tidak mempunyai kelengkapan unsur gramatikal,
pernyataan-pernyataan itu merupakan kalimat (khusus ragam bahasa dialog).
Pernyataan kalimat
dapat dilihat dari unsur predikat dengan menggunakan alat pengetesnya pemutasi
unsur kalimatnya. Dengan demikian masyarakat dapat menggunakan kalimat yang
efektif terhadap tata bahasa indonesia, dapat menghasilkan kalimat-kalimat yang
gramatikal dalam ekspesi ataupun komunikasi, baik lisan ataupun tulisan, dan
kita dapat mengenali kalimat-kalimat yang dihasilkan orang lain apakah
gramatikal atau tidak. Dengan begitu
akan menghindarkan (lisan atau tulis) ketidak cermatan dalam menilai
kelengkapan gagasan di dalam kalimat dan kepaduan antar unsur pembentuk
kalimat.
DAFTAR
PUSTAKA
Sugono, Dendy. 2009. Mahir Berbahasa Indonesia Dengan Benar. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Prawirasumantri, Abud. 2011. Sintaksis Bahasa Indonesia. Cianjur: UNSUR.