1. Hakikat Karya Fiksi
Sebelum kita membahas nilai-nilai yang terkandung dalam buku fiksi dan nonfiksi, kita bahas terlebih
dahulu hakikat buku fiksi dan nonfiksi. Buku fiksi adalah
buku yang berupa prosa naratif
yang berisfat imajinatif, tetapi biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran
yang mendramatisasikan hubungan-
hubungan antarmanusia. Karya fiksi biasanya berupa novel maupun cerpen.
Karya fiksi juga menceritakan berbagai masalah kehidupan
manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama, interaksinya dengan diri sendiri, dan dengan Tuhannya. Fiksi
merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi
pengarang terhadap lingkungan dan
kehidupan. Walaupun berupa hasil kerja imajinasi, khayalan,
tidak benar jika fiksi dianggap
sebagai hasil kerja lamunan belaka,
melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan
kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran
dan tanggung jawab (Nurgiyantoro, 2015:5).
2. Jenis Karya Fiksi
Jenis karya fiksi dikelompokkan menjadi beberapa macam. Karya fiksi yang mendasarkan pada fakta disebut sebagai fiksi historis jika yang menjadi dasar penulisan adalah fakta sejarah , misalnya Hitam dari Kurasan, Tentara Islam di Tanah Galia karya Dardji Zaidan. Novel historis terikat oleh fakta-fakta yang dikumpulkan melalui penelitian berbagai sumber. Namun, ia pun tetap memberikan ruang gerak untuk fiksionalitas, misalnya dengan memberitakan pikiran dan perasaan tokoh lewat percakapan. Misalnya, novel Surapati dan Robert Anak Surapati karya Abdul Muis yang juga berangkat dari fakta sejarah. Jika yang menjadi dasar penulisan adalah fakta biografis disebut fiksi biografis. Karya –karya biografis orang terkenal seperti Bung Karno Penyambung
Lidah Rakyat karya Cindy Adam,
Kuantar Kau ke Gerbang karya Ramadhan
KH, Tahta untuk Rakyat karya Mochtar
Lubis, dan Sang Pencerah karya Akmal Nasery
Basral. Selain itu juga biografi
Gusti Nurul Streven Naar Geluk karya
Ully Hermono, Khatijah
ketika Rahasia Mim Tersingkap karya Sibel Eraslan, Barack Obama Dream From My father yang
merupakan otobiografi. Jika yang menjadi dasar penulisan
fiksi itu berupa fakta ilmu pengetahuan disebut
fiksi sains. Misalnya, Bumi, Bulan, Matahari, Bintang, karya Tere Liye, dan 1984 karya George Orwell. Ketiga jenis karya fiksi tersebut sering disebut fiksi nonfiksi (Nurgiyantoro, 2015:5)
Yang dapat
digolongkan sebagai karya fiksi adalah novel (novel serius, novel popular, teenlit), cerpen, dan
roman. Contoh novel serius misalnya Bumi Manusia,
Anak Semua Bangsa,
Jejak Langkah, Rumah Kaca, semuanya
karya Pramodya Ananta Toer. Dapat pula kalian baca novel Belenggu karya Armyn Pane, Atheis karya
Achdiat Kartamiharja, Jalan Tak Ada
Ujung dan Harimau- Harimau karya Moctar Lubis, Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangun
Wijaya, Ayat-Ayat Cinta, Bidadari
Bermata Bening, Ketika Cinta Bertasbih, karya Habiburahman El Sirazi.
Di samping itu, dapat pula kalian baca pula novel popular seperti Karmila, Badai Pasti Berlalu, karya Marga T, Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Terminal Cinta Terakhir karya Ashadi Siregar, Cewek Komersil, Gita Cinta dari SMA, Musim Bercinta karya Eddy D Iskandar. Untuk jenis teenlit misalnya Dealova karya Dylan Nuranindya, Nothing But Love Semata Cinta dan Aphrodite karya Laire Siwi Mentari, dan lain-lain.
3. Nilai Moral dalam Karya Fiksi
Karya sastra selain sebagai media konumikasi, juga dipandang sebagai suatu sarana untuk mengajarkan sesuatu kepada pembaca. Telaah moral filosofis yang dikembangkan Plato, dalam Sudjiono (1990;177) dinyatakan bahwa fungsi sastra adalah mengajarkan moralitas, baik yang diorientasikan kepada ajaran religi maupun falsafah. Sehubungan dengan nilai-nilai dalam karya sastra, Shipley (dalam Tarigan, 1984;194) mengemukakan nilai-nilai dalam sastra meliputi lima macam yaitu:
a) Nilai hedonik, yaitu nilai yang memberi kesenangan secara langsung
b) Nilai artistik, yaitu nilai yang memanifestasikan keterampilan seseorang
c) Nilai kultural, yaitu nilai yang mengandung hubungan yang mendalam dengan
masyarakat
d) Nilai etis, moral, religious, jika di dalamnya terkandung ajaran moral, etika,
dan agama
e) Nilai praktis, jika dalam karya sastra itu terkandung hal-hal yang dapat
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengertian moral dalam karya sastra tidak berbeda dengan pengertian moral secara umum, yaitu menyangkut nilai baik buruk yang diterima
secara umum dan berpangkal pada nilai-nilai kemanusiaan. Moral dalam karya sastra biasanya
dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral
tertentu yang bersifat praktis,
yang dapat diambil
atau ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan dengan pembaca.
Moral dalam karya sastra biasanya
mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, dan itulah yang ingin disampaikan
oleh pengarang. Menurut Burhan Nurgiyantoro (1995:323-324), jenis moral dalam karya sastra dikelompokkan
menjadi empat aspek, yaitu:
a) Moral dalam aspek kehidupan antara manusia dan Tuhan
b) Moral dalam aspek kehidupan antara manusia dengan manusia
c) Moral dalam aspek kehidupan antara manusia dengan nuraninya
d) Moral dalam aspek kehidupan antara manusia dengan alam
Berikut disajikan contoh aspek moral yang terkandung dalam beberapa karya fiksi.
Kutipan |
Aspek nilai moral |
Alasan |
“Bisa
nggak Na kita bicara sebentar di sini.” “Satu
menit bisa Zum.”
“ Maaf Zum tidak bisa. Bukan apa-apa. Bukan aku tidak menghormatimu. Tapi aku belum
shalat dhuhur. Dan acaraku tepat
setengah dua. Sekarang pembukaan acara mungkin
sudah dimulai. Lagian
janjian kita kan habis ashar di pesantren. Dan kau sepakat.(KCB:57) |
Aspek kehidupan antara
manusia dan Tuhan |
Kutipan tersebut menunjukkan betapa manusia meyakini dan meyadari akan keberadaan Tuhan.
Karena itu, ada kesadaran penuh
manusia untuk menghamba pada Tuhan melalui
ajaran yang diyakininya. |
“Saya hanya
ingin seperti Fatimah yang selama hidupnya berumah tangga
dengan Ali bin Abi Thalib tidak dimadu
oleh Ali. Dan saya ingin seperti Khatijah yang selama hidupnya berumah tangga dengan
Rosulullah juga tidak
dimadu. Sungguh saya tidak mengharamkan poligami. Tapi inilah syarat yang saya ajukan. Jika diterima ya akad nikah
bisa dirancang untuk
dilaksanakan. Jika tidak, ya tidak apa- apa. Silakan Mas Furqon mencari
perempuan lain yang mungkin tidak
akan mengajukan syarat
apa-apa, papar Ana” panjang lebar
(KCB:31) |
Aspek kehidupan manusia dengan
manusia |
Ajaran moral yang tampak
adalah tentang kesetiaan pasangan hidup dalam
rumah tangga yang akan dibangun. Di satu sisi pengarang melalui tokohnya juga berpesan tidak
menolak suatu pandangan tentang poligami, tetapi tokoh tidak mau dipoligami. |
Saya menulikan telinga saya.
Membutakan mata saya.
Tapi rasa memang
tak bisa berbohong. Saya sadari beberapa menit kemudian, perasaan saya menjadi tercabik-cabik. Sesuatu
yang tak bisa saya redam
dengan diam atau lari. Rasa itu menggantung . Karenanya hati dan pikiran saya menjadi berat. Dada saya mulai
sesak. Saya hanya
merasa ada batu
sebesar kepala menindih dada saya, dan air bah yang memberontak di pintu mata saya. Sia-sia
saja saya bangun
bendungan maya di kelopak mata karena nalar
saya lebih cepat
menangkap realita. Air mata saya jatuh
satu-satu”(DT:33-34) |
Aspek kehidupan antara manusia
dan nuraninya |
Ajaran moral yang dapat
diambil adalah tentang
adanya suara-suara hati
seorang manusia yang tidak dapat dibohongi dan dipengaruhi oleh apa pun. Hasrat, keinginan keluar dari nurani
karena nurani pada dasarnya tidak
bisa berbohong. |
Lalu musim kemarau yang panjang itu datang. Dan tiba-tiba ia merasa dirinya terpencil. Orang-orang sudah
segan |
Aspek kehidupan manusia dengan alam |
Secara
tidak langsung pengarang menyampaikan ajaran moral
bahwa |
saja bergaul dengannya. Kalau kebetulan perpapasan saja orang mau menegurnya dengan perasaan tertekan. Setelah ia mengajak perempuan yang diajarnya mengaji untuk bergotong royong pada Kamis yang lalu, pada Kamis kemarin tak seorang pun mereka yang datang mengaji ( Kemarau:66) |
|
manusia
harus mampu menjaga hubungannya dengan alam. Musim kemarau yang membuat sawah kering tidak disikapi dengan menyerah pada alam, melainkan memunculkan semangat untuk mengatasinya. Semangat
itu memang tidak selalu disambut
baik oleh masyarakat di lingkungannya. Namun, dengan
niat dan tekad
suci semua teratasi |
Tugas Mandiri
Seragam
(Dikutip dari kumpulan cerpen Kompas)
Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.
Ketika
kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragu
saya memilih langsung
menuju amben di seberang ruangan.
Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu.
Dia pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela,
pada pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan
murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara
bendera tiap Isnin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya
diliputi keharuan yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar.
Dia
adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah
karena keluarga saya harus boyongan
ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten.
Itu saya ceritakan padanya, sekaligus
mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu.
”Jadi,
apa yang membawamu kemari?” ”Kenangan.”
”Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan,
tidak perlu menunggu
10 tahun setelah keluargamu kembali
dan menetap 30 kilometer saja dari sini.”
Saya tersenyum.
Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata
obrolan meluncur seperti
peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.
Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali
pada pengalaman kami dahulu.
Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di
ingatan saya. Tentu dia mengingatnya
pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai
seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya.
Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa, berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarganya.
Selesai
belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya langsung
menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang.
Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah
selepas isya untuk mencari jangkrik.
Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di
sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai ijuk agar berderik
lantang. Dari apa yang saya dengar itu,
proses mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak
pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan
sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.
”Tidak
ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat. Itu hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang
dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan
saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.
”Tanggung,” jawabnya.
Sambil
menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang galengan besar di areal
persawahan beberapa puluh meter setelah melewati
kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya obor milik para pencari
jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran
di areal terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani
berada di sana sendirian.
Kami
turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan
dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali
rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal
jepit menyulitkan saya karena tanah
kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit masuk di antara
retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi
melihat dia tenang-tenang saja walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.
Rasanya
belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah
perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat
tinggi-tinggi sehingga minyak
mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya!
”Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya sembari
melepaskan seragam coklatnya untuk dipakai menyabet
punggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak saya rasakan kerasnya tanah persawahan atau
tunggak-tunggak batang padi yang menusuk- nusuk
tubuh dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk berpikir bahwa saat itu saya
akan bisa mendapat luka yang lebih banyak karena
gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya
pikir akan menyenangkan justru
berubah menjadi teror yang mencekam!
Ketika
akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung hingga ke leher. Baju yang saya kenakan
habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya
yang gosong menyatu
dengan kulit. Sahabat
saya itu tanggap
melingkupi tubuh saya dengan
seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat
isyarat dengan mulutnya.
Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat
dan dia sendiri kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauh
berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan
secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari
sembari membujuk- bujuk saya untuk
tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan
berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain
yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena
tampar Ayah yang murka.
Saya langsung
dilarikan ke puskesmas
kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang melingkupi
tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah
agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya
dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia
terpaksa membolos di hari Jumat
dan Sabtu karena belum mampu membeli
gantinya.
”Salahmu sendiri,
tidak minta ganti,”
kata saya selesai
kami mengingat kejadian
itu.
”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya.
Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih
membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa
minggu.”
Kami
tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang
akhirnya menjadi pengingat abadi
persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus
semua kengeriannya.
Dia lalu mengajak saya ke halaman
belakang di mana kami pernah bersama-sama membuat
kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi
sebuah gudang tempatnya
kini berkreasi membuat
kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu ditambah pembagian
keuntungan sawah garapan
milik orang lainlah
yang menghidupi istri dan dua anaknya hingga
kini.
Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah
berat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan
orangtua justru tergadaikan.
”Kakakku
itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.”
”Ulahnya?” Dia mengangguk.
”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa
luas ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk
menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha
dengan mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku.
Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya
dahulu, seorang remaja putus sekolah
yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan- kenakalannya. Kini setelah
beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya.
”Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepas saya
setelah hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalam suaranya.
Sepanjang
perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya
merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk
menolong saya di malam itu. Dia telah
membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.
Mata
saya kemudian melirik seragam dinas yang
tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani
satu kasus perdata,
seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh
lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang
saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu,
dengan seragam dinas itu, sayalah
yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.
Berdasarkan cerpen di atas, isilah tabel analisis nilai moral berikut ini
Tabel Analisis
Nilai Moral berdasarkan cerpen SERAGAM
Aspek Nilai
moral |
Kutipan |
Penjelasan |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Daftar Pustaka
Partinem. 2020. Modul Pembelajaran SMA Bahasa Indonesia. SMAN 1 Purworejo: Direktorat Jendral PAUD, DIKDAS, dan DIKMEN.
Dede Solihah hadir ibu...
BalasHapusHera gustava aulia
BalasHapusAhmad Saepul anwar
BalasHapusSomad
BalasHapusSalman
BalasHapusRetno Dwi juhalistio
BalasHapusHani
BalasHapusBonita siti nuraisah
BalasHapusAsti nurjakia
BalasHapus