BAB I
PEMBAHASAN
A.
Pendahuluan
Semantik
yang bermula berasal dari bahasa Yunani mengandung makna to signify atau memaknai.Sebagai istilah teknis, semantik
mengandung pengertian “tetang makna”.Dengan
anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian
dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa , komponen makna dalam
hal ini juga menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi umumnya
menduduki tingkat pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka komponen makna
menduduki tingkatan terakhir.
Hubungan
ketiga komponen itu sesuai dengan kenyataan bahwa (a) bahasa pada awalnya
merupakan bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang tertentu, (b) lambang-lambang merupakan
seperangkat sistem yang memiliki tatanan dan hubungan tertentu, dan (c)
seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan
adanya makna tertentu (Palmer, 1981: 5).
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
penegertian makna dalam pemakaian sehari-hari?
2. Bagaimanakah
pengertian makna sebagai istilah?
3. Bagaimanakah
pengertian makna dan pendekatan
referensial?
4. Bagaimanakah
pengertian dalam pendekatan ideasional?
5. Bagaimankah
pengertian makna dalam pendekatan behavioral?
6. Bagaimanakah
penerapan tiga pendekatan dalam studi makna?
7. Bagaimanakah
proses kejiwaan dan penguasaan lambang dalam dalam pemaknaan?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui penegertian makna dalam pemakaian sehari-hari
2. Mengetahui pengertian makna sebagai istilah
3. Mengetahui pengertian
makna dan pendekatan referensial
4. Mengetahui
pengertian dalam pendekatan ideasional
5. Mengetahui
pengertian makna dalam pendekatan behavioral
6. Mengetahui penerapan tiga pendekatan dalam studi makna
7. Mengetahui
proses kejiwaan dan penguasaan lambang dalam pemaknaan
BAB
II
PEMBAHASAN
Paparan
tentang ciri-ciri bahasa dan bahasa sebagai sistem semiotik memberikan gambaran
keluasan ruang lingkup keberadaan makna. Keluasan ruang lingkup itu ditandai
oleh keterkaitan makna dengan (1) ciri-ciri atau unsur internal kebahasaan (2)
unsur sosial budaya yang melatari, (3) pemakai, baik sebagai penutur maupun
sebagai penanggap, serta (4) ciri informasi dan ragam tuturan yang disampaikan.
Akibat keluasan ruang lingkup makna itu, lebih lanjut juga mengimbulkan
berbagai perbedaan dalam merumuskan pengertian maupun dasar pendekatan yang
digunakannya.
A. Pengertian Makna Dalam Pemakaian
Sehari-Hari
Dalam pemakaian sehari-hari, kata makna digunakan dalam berbagai bidang
maupun konteks pemakaian. Apakah pengertian khusus kata makna tersebut serta
pembedanya dengan ide, misalnya, tidak begitu diperhatikan. Sebab itu, sudah
sejajarnya bila makna juga disejajarkan
pengertiannya dengan arti, gagasan,
konsep, pernyataan, pesan, informasi, maksud, firasat, isi dan pikiran.Berbagai
pengertian itu begitu saja disejajarkan dengan kata makna karena keberadaanya memang tidak pernah dikenali secara cermat
dan dipilah secara tepat.
Dari sekian banyak pengertian yang
diberikan itu, hanya arti yang
dekat pengertiannya dengan makna.
Meskipun demikian, bukan berarti keduanya sinonim mutlak.Disebut demikian
karena arti adalah kata yang mencakup makna dan pengertian (cf. Kridalaksana, 1982: 15).Pengertian gagasan pada dasarnya memiliki
kesejajaran pengertian dengan pikiran
maupun ide. Sebab itu, dalam bahasa Inggris ketiga kata itu tercakup dalam kata thought. Lebih lanjut, thought sebagai aktivitas mental
meliputi konsep maupun pernyataan (Hudson, 1980: 75). Apabila konsep berkaitan
dengan olahan ingatan dan kesimpulan, maka istilah pernyataan berkaitan dengan proposisi dan statemen.Prosuposisi sebagai istilah juga diberi pengertian
berbeda-beda. Sebagai gejala kejiwaan, proposisi adalah gejala kejiwaan,
proposisi adalah isi konsep yang masih kasar yang akan melahirkan statemen.
Sedangkan Lyons lebih cendrung mengartikan proposisi sebagai perwujudan
ekspresi dalam bentuk kalimat, yang bisa benar atau salah (Lyons, 1979: 38).Selain
itu, Harimurti memberi pembatasan pengertian batasan proposisi sebagai
konsfigurasi makna yang menjelaskan isi dari pembicaraan, terjadi dari predikator yang berkaitan dengan satu argumen atau lebih (Kridalaksana, 1982:
139).Sehubungan dengan kajian ini, berbeda dengan rumusan diatas, proposisi diartikan sebagai pernyataan
dasar yang masih berada dalam abstraksi pikiran penutur. Tatanan “saya lapar”
yang masih berada dalam pikiran adalah contoh proposisi, sedangkan
perwujudannya dalam kalimat, misalnya, tadi
pagi saya tidak sarapan, seharian
saya belum makan, dan sejumlah wujud kalimat lain yang mewakili proposisi
“saya lapar” adalah pernyataan atau
statemen.
Baik penyataan proposisi, maupun gagasan
yang mencakup pengertian pikiran dan ide, konsep, pesan, dan maksud pada dasarnya merupakan aspek semantis yang harus
dikembalikan dan berasal dari sender.
Pesan atau massage disebut berada
pada sender karena pesan adalah isi
koumunikasi dalam sender yang
diwadahi oleh tatanan lambang kebahasaan secara individual (Cherry, 1957: 304;
Lyons, 1979: 36). Apabila pesan itu sudah ditransmisikan lewat signal atau tanda, maka isi pesan itu
disebut informasi. Pemahaman informasi pada diri pembaca, biasa disebut dengan isi atau conteks. Menurut Lyons, kegiatan penyusuanan pesan tidak dapat
terlepas dari enkonding, sedangkan
usaha memahami pesan yang dilakukan penerima pesan disebut dekoding. Apabila dekoding
gagal, informasi dan isi dapat tinggal
jadi pesan yang ada pada si
penutur.dengan demikian, komunikasi itu pun belum berhasil.
B. Pengertian Makna Sebagai Istilah
Kata makna sebagai istilah mengacu pada
pengertian yang sangat luas. Sebap itu, tidak mengherankan bila Odgen &
Richards dalam bukunya, The meaning of meaning (1923), mendaftar enam belas
rumusan pengertian makna yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang
lainnya. Adapun batasan pemberian makna dalam pembahasan ini.Makna ialah
hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh
para pemakai bahasa sehingga dapat saling mengerti (cf. Grice, 1957; Bolinger,
1981: 108). Dari batasan pengeritan itu
dapat diketahui adanya unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni (1) makna
adalah hubngan antara bahasa dan dunia luar, (2) penentuan hubungan terjadi
karen adanya kesepakatan para pemakai, serta (3) perwujudan makna itu dapat
digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling mengerti.
Bagaimana bentuk antara hubungan antara
makna dan dunia luar?Dalam hal ini terdapat tiga pandangan filosofis yang
berbeda-beda antar yang satu dengan yang lainnya.Ketiga pandangan yang dimaksud
itu adalah (1) realisme (2) nominalisme (3) konseptualisme.Realisme beranggapan
bahwa terhadap wujud dunia luar, manusia selalu memiliki jalan pikiran
tertentu.Terhadap dunia luar, manusia selalu memberikan gagasan tertentu. Sebab
itu, pemaknaan antara “makna kata” dengan “wujud yang dimaknai” selalu memiliki hubungan yang hakiki.
Pandangan bahwa antara “makna kata”
dengan “wujud yang dimaknai” memiliki hubungan yang hakiki, akhirnya
menimbulkan klasifikasi makna kata yang dibedakan antara yang konkret, abstrak,
tunggal, jamak, khusus, maupun yuniversal. Penentuan bentuk hubungan itu
ternyata tidak selamanya mudah. Batas antara benda kongkret dan abstrak,
khusu atau universal, sering kali sulit ditentukan. Dalam situasi demikian, apa
atau siapa yang menentukan, penentuan itu bersifat objekgtif ataukah subjektif?
Selain itu, makna suatu kata, makna denotatumnya dapat berpindah-pindah.Kata
mendung, misalnya, selain dapat diacukan pada benda, juga dapat diacukan ke
dalam “suasana sedih”. Pada sisi lain, referen yang sama dapat ditunjukan oleh
kata-kata yang berbeda-beda. Sudin sebagai guru, ayah dan anak-anaknya, suami atau tetangga yang baik dapat disebut
sebagai pak guru, bapak, mas oom maupun sebutan lainnya. Sebab itulah kaum
nomalis menolak anggapan bahwa antara kata dengan wujud luar terdapat hubungan
(Lyons, 1979: 111)
Dalam nominalisme, hubungan antar makna
kata dengan dunia luar semata-mata bersifat arbitrer meskipun sewenang-wenang
penentuan hubungannya oleh para pemakai dilatari oleh adanya konvensi.Sebab
itulah, penunjuk makna kata bukan bersifat perseorangan, melainkan memiliki
kebersamaan.Dari adanya simbolik bahasa yang tidak lagi diikat oleh dunia yang
diacu itulah, bahasa akhirnya lebih membuka peluang untuk menjadikan media
memahami realitas, bukan realitas yang dikaji untuk memahami bahasa.
C. Pengertian Makna dan Pendekatan
Referensial
Berarti telah diketahui, bahasa memiliki
berbagai fungsi. Tiga fungsi bahasa yang relevan diangkat sebagai pijakan awal pembahasan masalah (1)
pendekatan referensial (2) pendekatan ideasional serta (3) pendekatan behavioral ini adalah,
fungsi bahasa sebagai (1) wakil realitas yang menyertai sebagai proses berfikir
manusia secara individual, (2) sebagai media yang dalam mengolah pesan dan
menerima informasi, serta (3) sebagai
fakta sosial yang mampu menciptakan berbagai bentuk komunikasi. Apabila fungsi
pertama menjadi pijakan awal pendekatan referensia, fungsi kedua menjadi dasar
kajian pendekatan ideasional, makna fungsi ketiga adalah pusat pandang dari
pendekatan behavioral.
Dalam pendekatan referensial, makna
diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran manusia untuk menunjuk
dunia luar.Sebagai lebel atau julukan, makna itu hadir karena adanya kesadaran
pengamatan terhadap fakta dan penarikan kesimpulan yang keseluruhanny
berlangsung secara subjektif.Terdapatnya julukan simbolik dalam kesadaran
individual itu, lebih lanjut memungkinkan manusia untuk menyusun dan
mengembangkan skema konsep. Kata pohon, misalnya, berdasarkan kesadaran
pengamatan dan penarikan kesimpulan, bukan hanya menunjuk jenis-jenis tumbuhan,
melainkan memperoleh julukan sebagai “ciptaan”, “hidup”, “fana”, sehingga pohon dalam baris puisi
Goenawan Muhammad disebutnya.... berbagai dingin di luar jendela/mengekalkan
yang esok yang mungkin tak ada.
Kesadaran pengamatan dan penarikan
kesimpulan dalam pemberian julukan, dan pemaknaan tersebut, berlangsung melalui
bahasa.Akan tetapi, berbeda dengan bahasa keseharian, bahasa yang digunakan
disitu adalah bahasa perseorangan atau private language (Harman, 1968).Dengan
demikian, makna dalam skema konsep dapat merambah ke
dunia absurt yang mempribadi dan terasing dari komunikasi keseharian.
D. Pengertian Makna Dalam Pendekatan
Ideasional
Kelemahan dalam pendekatan referensial,
selain telah disebutkan diatas, juga dikaiakan dengan masalah adanya paradoksal
antara keberantungan pada wujud yang diacu dan subjektifitas dalam memberi
julukan. Selain itu, skema konsep yang dianggap bersifat individual, karena
duni kita merupakan dunia yang satu ini jug,
pada akhirnya bisa menjadi milik bersama. Seorang petani adalah salah
satu diantara petani lainnya, seorang penyair adalah satu diantara penyair
lainnya. Kelemahan lain yang sangat menarik sehubungan dengan kajian dalam
butir-butir ini adalah meniadakan hubungan hakiki makna dan bahasa sebagai
hubungan antara bentuk dan isi, mencabut makna dari konvensi dan
mengeluarkannya dair konteks komunikasi.
Dalam pendekatan idesional, makna adalah
gambaran gagasan dari satu bentuk kabahsaan yang bersifat sewenang-wenang,
tetapi memiliki konvensi sehingga dapat saling dimengerti. Gambaran kesatuan
hubungan antara makna dan bentuk kebahasaan itu secara jelas dapat dikaji dalam
perumus Grice,..... X meant that P adn X mean that P entail P. Dengan kata
lain, X berarti P dan X memaknakan P seperti dimiliki ole P. X dalam konsep
Grice adalah perangkat kalimat sebagai bentuk kebahasaan yang telah dimiliki
satuan gagasan. Kalimat yang berbunyi, X memaknakan P seperti yang dimiliki P
memberikan gambaran tentang keharusan memaknai X sebgai P seperti yang telah
berda dalam konvensi bahwa P adalah P.
Meletakan komponen semantik pada adanya
satuan gagasan, bukan berarti pendekatan idesional mengabaikan makna pada aspek
bunyi, kata, dan frase. Jerrold J. Katz mengungkapkan bahwa penanda semantis
dari bunyi, kata, dan frase sebagai unsur-unsur pembangun kalimat, dapat
langsugn diidentifikasi lewat kalimat. Dengan mengidentifikasi unsur-unsur
kalimat itu sebagai satuan gagasan, diharapkan pemaknaan tidak berlangsung
secara lepas-lepas, tetapi sudah mengacu pda kesatuan makna yang dapat
digunakan dalam komunikasi (Katz, dalam Steinberg & Jokobovist, 1978: 297).
Sebab itulah, apabila X adalah kata, menurut Grice, X has meaning NN if it is
used and comunication (Grice, 1957). Atau dengan kata lain, kata setelah berada
dalam komunikasi memiliki potensialitas makna yang bermacam-macam. Mungkin
makna 1,2,3... N.
Sehubungan dengan kegiatan berpikir,
manusia berpikir menggunakan bahasa yang juga bisa digunakan dalam komunikasi.
Sebab itulah, kegiatan kegiatan pengolahan pesan lewat bahasa atau encoding,
penyampaian pesan lewat bahasa atau koding.
Komponen pembabangun gagasan dalam
enkode menurut Jerold Katz bisa saja tidak sama persis dengan kode. Akan
tetapi, yang pasti, hubungan linear itu haru diikut daur, yakni hubunan timbal
balik antara penyampai dan penerima pesan yang ditandai oleh adanya “saling
mengerti”. Grice juga menyebutkan suatu bentuk kebahasaan itu dimaknai P oleh
penutur adalah apabila pemaknaan P itu secara laras nantinya juga dimaknai P
oleh pendengarnya.
E. Pengertian Tentang Makna Dalam
Pendekatan Behavioral
Dalam dua pendekatan yang telah diurai
di depan, dapat diketahui bahwa (1) pendekatan reveresiala dapat mengkaji makna
lebih menekankan pada fakta sebagai objek kesadaran pengamatan dan penarikan
kesimpulan secara individual, dan (2) pendekatan ideasional lebih menekankan
pada keberadaan bahasa sebagai media dalam mengolah pesan dalam menyampaikan
informasi. Keberatan dari pendekatan behavioral terhadap kedua pendekatan
tersebut, salah satunya adalah, kedua pendekatan itu telah mengabaikan konteks
sosial dansituasional yang oleh kaum behavioral dianggap berperan penting dalam
menentukan makna.
Kritik lain terhadap pendekatan diatas
adalah pada objek kajian utama yang justrul tidak pernah diobservasikan secara
langsung. Pernyataan dalam kajian ideasional yang berkaitan dengan keselarasan
pemahaman antara penutur dengan pendengar dalam memaknai kode misalnya, dalam
pendekatan behavioral dianggap kajian spekulatif karena pengkaji dianggap tidak
mampu meneliti karakteristik idea atau pikiran penutur pendengar, sejalan
dengan katifitas pengolahan pesan dan pemahamannya. Sebab itualah, kajian makna
yang bertolak dari pendekatan behavioral, mengkaji makna dalam peristiwa ujaran
(speech event) yang berlangsung dalam situasi tertentu (speech situation).
Satuan tuturan atau unit tekecil yang mangandung makna penuh dari keseluruhan
atau speech event yang berlangsung dalam speech situation disebut speech act
(Hymes, 1972: 56).
Penentuan makna dalam speech act menurut
Searle harus bertolak dari berbagai kondisi dan situasi yang melatari
pemunculanannya (Searle, 1969). Unik ujaran yang berbunyi masuk! Misalnya dapat berarti “di dalam garis” bila muncul misalnya dalam permainan
bulu tangkis, “berhasil” bagi yang main lotre, “silahkan ke dalam” bagi tamu dan tuan rumah, ”hadir” bagi
mahasiswa yang dipresetasi Pak Dosen. Makna keseluruhan unit ujaran itu dengan
demikian harus disesuaikan dengan latar situasi dan bentuk sosial interaksi
yang mengkondisikannya.
Konsep yang antara lain dikembangkan
oleh Autin , Here, Searle, Alston, dll., akhirnya juga tidak dapat terlepas
dari kritik. Kritik utama, yang datang dari Chomsky, menganggap bahwa meletakan
unsur luar bahasa sejajar dalam bahasa
dalam rangka menghadirkan makna, berarti menghilangkan aspek kreatif bahasa itu
sendiri yang dapat digunakan untuk
mengekpresikan gagasan secara bebas. Bahasa sebagai suatu sistem adalah “sistem
dari sistem”. Perbendaharaan kata atau leksikon pemakaiannya bukan hanya
memperhatikan kaidah leksikal dan gramatikal, melainkan juga ditentukan oleh
refresentasi semantik. Konponen refresentasi semantik yang menunjuk dunia luar
pada dasarnya telah mengandung “sistem luar biasa” itu ke dalam dirinya. Dengan
demikian, konteks sosial dan situasional sebagai sutu sistem bukan berada di
luar bahasa, melainkan berada di dalam dan mewarnai keseluruahan sistem
kebahasaan itu sendiri (cf. Mc Cawley, 1978: 176) baru setelah unsur yang
tercakup di dalam deep structure itu laras, hadirlah surface struture yang
pemunculannya dalam tuturan juga memperhatikan kaidah fonologi atau
phonological rules. Konsep demikian, sedikit banyak juga mewaranai kajian
semiotik yang dilaksanakan oleh Moris.
F.
Penerapan
Tiga Pendekatan Dalam Studi Makna
Dari ketiga pendekatan yang telah
diuraika diatas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan pertama mengaitkan makna
dengan masalah nilai juga proses berfikir
manusia dalam memahami realitas lewat
bahasa secar benar, pendekatan kedua mengaitkan makna dengan kegiatan
menysun dan meyampaikan kegiatan lewat bahas, dan pendekatan ketiga mengaitkan
makna dengan fakta pemakaian bahasa dalam konteks-sosialsituasional. Dengan
demikian, keberadaan ketiga pendekatan tersebut lebih menyerupai satu
rangkaian. Sebab itulah, Gilbert H. Harman, misalnya, yang tidak menyetujui
pemakaian ketiga istilah pendekatan tersebut, lebih puas dengan menggunakan
istilah three levels of meaning (1968)
Lebih lanjut, konsep dalam ketiga
pendekatan itu masing-masing terus berkembang dan menebarkan pengaruhnya.
Konsep dalam pendekatan pertama, misalnya yang dilandasi pemikiran para fisup
seperti John Dewey, Rudolf Carnap,
maupun Bertad Russell, akhirnya memang lebih dengan kontemplasi dalam upaya
memahami realitas secara benar. Kajian yang erat dengan masalah filsafat itupun
sebenarnya tidak asing dari kehidupan manusia pada umumnya. Hal itu terjadi
karena di samping mahluk berpikir, manusia adalah juga mahluk pencari makna,
kegiatan soliloquy, ngudarasa, atau yang oleh Pak Anton Mulyono diindonesiakan
dengan ekacakap, oleh Dewey diartikan sebagai ......... is the product and
reflex of converse with others, sebagai suatu dialog antara diri dengan dunia
luar yang telah bersif.....transedental.
Selain itu, dalam tingkatan yang paling
sederhana, kata itu sendiri hadir karena adanya dunia luar. Kat perang bintang
atau kartika yuda, bis susun, jembatan layang, adalah kata-kata yang hadir
untuk menamai luar. Dengan demikian, pada tingkat awal, antara makan dan dunia
luar. Dengan demikian, pada tingkat awal, antara makna dengan dunia luar memang
terdapat wigati. Sebab itulah dalam kajian semantik, pendekatan referensial
umumnya digunakan pada awal kajian. Bahkan tokoh seperti Stephen Ulman yang
banyak memberikan kritikan terhadap refresential, konsep yang diajukan
sehubungan dengan keberadaan makna, yakni name, ‘bentuk fonetis kata’ sense
‘pengertian’, serta thing ‘referen
acuan’ tidak lebih hanya pembahasan dari model pembagian signifiant dan
signifie dari Sausure yang digabungkan dengan Basic triangle Ogden &
Richard yang sebagai konsep yang oleh Ulman diketahui bertolak dari pendekatan
referensial (Ulman, 1977:57)
Apabila pendekatan referensial lebih
berpusat pada masalah “bagaimana mengolah suatu realitas secara benar” maka
kajian semantik lewat pendekatan lewat pendekatan ideasional lebih menekankan
pada masalah “bagaimana menyampaikan makan lewat struktur kebahasaan secar
benar tanpa mengabaikan kesalarasan hubungannya dengan realitas”. Pusat
permasalahan dalam pendekatan ideasional itu dalam kajiannya ternyata
menunjukan adanya perbedaan. Pengkajian semantik yang bertolak dari kajian
pandangan generatif transformasi, misalnya, meskipun sama-sama bertolak dari
konsep dasar bahwa tata bahasa dalam setiap bahasa adalah a system of rules
that expreses the correspondence between sound and meaning in this language
(Comsky, 1971: 182), dalam pengembangan berikutnya menghadirkan dua kubu yang
berbeda. Kedua kubu tersebut lazim disebut (1) semantik interpretif yang
dikembangkan antara lain oleh Katz, Fodor, maupun Comsky sendiri dan Morris
Helle, serta (2) semantik generatif yang dikembangkan sendiri oleh filmore,
Bach, R lakop, George Lakoff, Mc Kauley, dan lain-lain (Lakoff, 1971: 232).
Perbedaan utama dari kedua itu ialah,
kajian dalam semantik iteretatif beranggapan bahwa komponen refresentasi
semantik memiliki tingkatan tersendiri sebelum deep strukture. Komponen
refresentasi sematik itu berisis semantik content of lexical item yang akhirnya
membentu post leksikal strukture sebagai butir leksikon yang membangun deep
strukture (Chomsky, 1971: 185) wawasan tersebut tidak sesuai dengan pandangan
semanti generatif yang sebenarnya juga berpijak pada konsep generatif
transformasi yang dikembangkan oleh Chomsky. Bagi mereka, pemilihan tingkat
komponen refresentasi sematis lewat struktur dalam itu pad dasarnya tidak perlu
karena keduanya identik.
G. Peroses Kejiwaan dan Penguasaan
Lambang Dalam Pemaknaan
Dalam komunikasi sehari-hari, keempat
unsur yang disebutkan Osgood di atas, bisa jadi tampil secara simultan dan
spontan.akan tetapi adankalanyaproses mekanistis itu mengalami hambatan. Hali
itu terjadi apabila penanggap menjumpai bentuk kgusus yang berada di luar
pembendaharaan pengalamannya dalam komunikasi keseharian. Bentuk khusus
tersebut menjadi “sesuatu yang asing” bagi penanggap, mungkin karena (a)
pilihan kata dan penataan stukturnya, (b) acuan maknanya sudah dipertinggi,atau
mungkin (c) gambar peristiwanya telah terasa lepas dari kehidupan rutin
keseharian. Kalimat Goenawan Mohammad yang berbunti Sang Iblis adalah
kecongkakan diterkam oleh fikiran ragu,adalah slah satu contoh paparan itu
secara keseluruhan. Contohnya lain paparan demikian dpat dijumpai di dalam
karya sastra, baik puisi maupun prosa fiksi.
Menjumpai paparan demikian, proses
psikologis penanggap dalam upaya memahaminya menjadi rangkap. Hal itu terjadi
karena kata bukan hanya berkaitan dengan denotatum, melainkan juga desingnatum.
Dalam kegiatan designatif, mungkin sekali terjadi pembayangan yang
bertentangan, mendatangkan keraguan. Dan mungkin juga absurd. Maka bukan hanya
menunjuk pada tanda, bukan hanya menunjuk pada fakta keseharian, melainkan juga
menunjukan hanya pada sesuatu yang mempribadi, pada realitas lain yang
transcendental.
Dalam situasi demikian memory bukan hanya berkaitan
dengan ingatan makna kata, relasi makna dalam stuktur maupun pemakaian,
melainkan juga menunjuk pada skema konsep pada sejumlah julukan suatu fakta
yang dibentuk oleh pikiran maupun pengetahuan penanggap. Dalam hal demikian
itulah, konsep makna seperti yang diajukan oleh teori referensial menjadi
begitu wigati. Sebab itulah, penanggap yang menguasai bahasa hanya pada tataran
fungsi instrumental, yakni sebagai alat dalam memenuhi kebutuhan fisis
sehari-hari, akan membaca paparan itu sebagai sesuatu yang “aneh”. Dalam hal
demikian, keberadaan bahasa dalam fungsi personal, heuristik, dan imajinatif,
sedikit banyak sudah harus dirambah oleh penanggap.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Dapat
disimpulkan pendekatan semantik ada tiga aspek, Pendekatan pertama mengaitkan
makna dengan msalah nilai sea proses berpikir manusia dlam memahami realitas
lewat bahasa secara benar, pendekatan kedua mengaitkan makna dengan kegiatan
menyusun dan mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa, dan pendekatan
ketiga mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa dlam konteks
sosial-situasional.
B. SARAN
Mengingat
terbatasnya pengetahuan tim penulis, begitu pula kurangnya rasa ingin tahu dari
tim penulis. Berharap pembaca bisa memaklumi jika terdapat adanya kesalahan
dalam penulisan atau kata-kata dalam makalah yang tim penulis susun. Adapun
kebenaran itu datangnya dari Allah SWT dan kekurangannya datangnya dari tim
penulis. Tim penulis berharap pembaca tidak puas dengan makalah yang tim
penulis buat ini dan pada akhirnya pembaca akan terus memperdalam pengetahuan yang
sangat luas. Dalam makalah ini juga, tim penulis butuh kritikan dan saran guna
perbaikan dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin,
1985, Semantik Pengantar studi tentang
makna, Malang: Sinar Baru
Algensid.