Senin, 14 Oktober 2013

PENGERTIAN MAKNA, TEORI PENDEKATAN DAN PENGEMBANGANNYA



BAB I
PEMBAHASAN

A.    Pendahuluan
Semantik yang bermula berasal dari bahasa Yunani mengandung makna to signify atau memaknai.Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian “tetang makna”.Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa , komponen makna dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi umumnya menduduki tingkat pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, maka komponen makna menduduki tingkatan terakhir.
Hubungan ketiga komponen itu sesuai dengan kenyataan bahwa (a) bahasa pada awalnya merupakan bunyi abstrak yang mengacu pada adanya lambang-lambang  tertentu, (b) lambang-lambang merupakan seperangkat sistem yang memiliki tatanan dan hubungan tertentu, dan (c) seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan adanya makna tertentu (Palmer, 1981: 5).
B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah penegertian makna dalam pemakaian sehari-hari?
2.    Bagaimanakah pengertian makna sebagai istilah?
3.    Bagaimanakah pengertian  makna dan pendekatan referensial?
4.    Bagaimanakah pengertian dalam pendekatan ideasional?
5.    Bagaimankah pengertian makna dalam pendekatan behavioral?
6.    Bagaimanakah penerapan tiga pendekatan dalam studi makna?
7.    Bagaimanakah proses kejiwaan dan penguasaan lambang dalam dalam pemaknaan?


C.    Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui  penegertian makna dalam pemakaian sehari-hari
2.    Mengetahui  pengertian makna sebagai istilah
3.    Mengetahui  pengertian  makna dan pendekatan referensial
4.    Mengetahui pengertian dalam pendekatan ideasional
5.    Mengetahui pengertian makna dalam pendekatan behavioral
6.    Mengetahui  penerapan tiga pendekatan dalam studi makna
7.    Mengetahui proses kejiwaan dan penguasaan lambang dalam pemaknaan




BAB II
PEMBAHASAN

Paparan tentang ciri-ciri bahasa dan bahasa sebagai sistem semiotik memberikan gambaran keluasan ruang lingkup keberadaan makna. Keluasan ruang lingkup itu ditandai oleh keterkaitan makna dengan (1) ciri-ciri atau unsur internal kebahasaan (2) unsur sosial budaya yang melatari, (3) pemakai, baik sebagai penutur maupun sebagai penanggap, serta (4) ciri informasi dan ragam tuturan yang disampaikan. Akibat keluasan ruang lingkup makna itu, lebih lanjut juga mengimbulkan berbagai perbedaan dalam merumuskan pengertian maupun dasar pendekatan yang digunakannya.
A.  Pengertian Makna Dalam Pemakaian Sehari-Hari
Dalam pemakaian sehari-hari, kata makna digunakan dalam berbagai bidang maupun konteks pemakaian. Apakah pengertian khusus kata makna tersebut serta pembedanya dengan ide, misalnya, tidak begitu diperhatikan. Sebab itu, sudah sejajarnya bila makna juga disejajarkan pengertiannya dengan arti, gagasan, konsep, pernyataan, pesan, informasi, maksud, firasat, isi dan pikiran.Berbagai pengertian itu begitu saja disejajarkan dengan kata makna karena keberadaanya memang tidak pernah dikenali secara cermat dan dipilah secara tepat.
Dari sekian banyak pengertian yang diberikan itu, hanya arti yang dekat  pengertiannya dengan makna. Meskipun demikian, bukan berarti keduanya sinonim mutlak.Disebut demikian karena arti adalah kata yang mencakup makna dan pengertian (cf. Kridalaksana, 1982: 15).Pengertian gagasan pada dasarnya memiliki kesejajaran pengertian dengan pikiran maupun ide. Sebab itu, dalam bahasa Inggris  ketiga kata itu tercakup dalam kata thought. Lebih lanjut, thought sebagai aktivitas mental meliputi konsep maupun pernyataan (Hudson, 1980: 75). Apabila konsep berkaitan dengan olahan ingatan dan kesimpulan, maka istilah pernyataan berkaitan dengan proposisi dan statemen.Prosuposisi sebagai istilah juga diberi pengertian berbeda-beda. Sebagai gejala kejiwaan, proposisi adalah gejala kejiwaan, proposisi adalah isi konsep yang masih kasar yang akan melahirkan statemen. Sedangkan Lyons lebih cendrung mengartikan proposisi sebagai perwujudan ekspresi dalam bentuk kalimat, yang bisa benar atau salah (Lyons, 1979: 38).Selain itu, Harimurti memberi pembatasan pengertian batasan proposisi sebagai konsfigurasi makna yang menjelaskan isi dari pembicaraan, terjadi dari predikator yang berkaitan dengan satu argumen atau lebih (Kridalaksana, 1982: 139).Sehubungan dengan kajian ini, berbeda dengan rumusan diatas, proposisi diartikan sebagai pernyataan dasar yang masih berada dalam abstraksi pikiran penutur. Tatanan “saya lapar” yang masih berada dalam pikiran adalah contoh proposisi, sedangkan perwujudannya dalam kalimat, misalnya, tadi pagi saya tidak sarapan, seharian saya belum makan, dan sejumlah wujud kalimat lain yang mewakili proposisi “saya lapar” adalah pernyataan atau statemen.
Baik penyataan proposisi, maupun gagasan yang mencakup pengertian pikiran dan ide, konsep, pesan, dan maksud pada dasarnya merupakan aspek semantis yang harus dikembalikan dan berasal dari sender. Pesan atau massage disebut berada pada sender karena pesan adalah isi koumunikasi dalam sender yang diwadahi oleh tatanan lambang kebahasaan secara individual (Cherry, 1957: 304; Lyons, 1979: 36). Apabila pesan itu sudah ditransmisikan lewat signal atau tanda, maka isi pesan itu disebut informasi. Pemahaman informasi pada diri pembaca, biasa disebut dengan isi atau conteks. Menurut Lyons, kegiatan penyusuanan pesan tidak dapat terlepas dari enkonding, sedangkan usaha memahami pesan yang dilakukan penerima pesan disebut dekoding. Apabila dekoding gagal, informasi dan isi dapat  tinggal jadi pesan yang ada pada si penutur.dengan demikian, komunikasi itu pun belum berhasil.
B.  Pengertian Makna Sebagai Istilah
Kata makna sebagai istilah mengacu pada pengertian yang sangat luas. Sebap itu, tidak mengherankan bila Odgen & Richards dalam bukunya, The meaning of meaning (1923), mendaftar enam belas rumusan pengertian makna yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Adapun batasan pemberian makna dalam pembahasan ini.Makna ialah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling mengerti (cf. Grice, 1957; Bolinger, 1981: 108). Dari batasan pengeritan  itu dapat diketahui adanya unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni (1) makna adalah hubngan antara bahasa dan dunia luar, (2) penentuan hubungan terjadi karen adanya kesepakatan para pemakai, serta (3) perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling mengerti.
Bagaimana bentuk antara hubungan antara makna dan dunia luar?Dalam hal ini terdapat tiga pandangan filosofis yang berbeda-beda antar yang satu dengan yang lainnya.Ketiga pandangan yang dimaksud itu adalah (1) realisme (2) nominalisme (3) konseptualisme.Realisme beranggapan bahwa terhadap wujud dunia luar, manusia selalu memiliki jalan pikiran tertentu.Terhadap dunia luar, manusia selalu memberikan gagasan tertentu. Sebab itu, pemaknaan antara “makna kata” dengan “wujud yang dimaknai”  selalu memiliki hubungan yang hakiki.
Pandangan bahwa antara “makna kata” dengan “wujud yang dimaknai” memiliki hubungan yang hakiki, akhirnya menimbulkan klasifikasi makna kata yang dibedakan antara yang konkret, abstrak, tunggal, jamak, khusus, maupun yuniversal. Penentuan bentuk hubungan itu ternyata tidak selamanya  mudah.   Batas antara benda kongkret dan abstrak, khusu atau universal, sering kali sulit ditentukan. Dalam situasi demikian, apa atau siapa yang menentukan, penentuan itu bersifat objekgtif ataukah subjektif? Selain itu, makna suatu kata, makna denotatumnya dapat berpindah-pindah.Kata mendung, misalnya, selain dapat diacukan pada benda, juga dapat diacukan ke dalam “suasana sedih”. Pada sisi lain, referen yang sama dapat ditunjukan oleh kata-kata yang berbeda-beda. Sudin sebagai guru, ayah dan anak-anaknya,  suami atau tetangga yang baik dapat disebut sebagai pak guru, bapak, mas oom maupun sebutan lainnya. Sebab itulah kaum nomalis menolak anggapan bahwa antara kata dengan wujud luar terdapat hubungan (Lyons, 1979: 111)
Dalam nominalisme, hubungan antar makna kata dengan dunia luar semata-mata bersifat arbitrer meskipun sewenang-wenang penentuan hubungannya oleh para pemakai dilatari oleh adanya konvensi.Sebab itulah, penunjuk makna kata bukan bersifat perseorangan, melainkan memiliki kebersamaan.Dari adanya simbolik bahasa yang tidak lagi diikat oleh dunia yang diacu itulah, bahasa akhirnya lebih membuka peluang untuk menjadikan media memahami realitas, bukan realitas yang dikaji untuk memahami bahasa.
C.  Pengertian Makna dan Pendekatan Referensial
Berarti telah diketahui, bahasa memiliki berbagai fungsi. Tiga fungsi bahasa yang relevan diangkat sebagai  pijakan awal pembahasan masalah (1) pendekatan referensial (2) pendekatan ideasional serta (3) pendekatan behavioral ini adalah, fungsi bahasa sebagai (1) wakil realitas yang menyertai sebagai proses berfikir manusia secara individual, (2) sebagai media yang dalam mengolah pesan dan menerima informasi,  serta (3) sebagai fakta sosial yang mampu menciptakan berbagai bentuk komunikasi. Apabila fungsi pertama menjadi pijakan awal pendekatan referensia, fungsi kedua menjadi dasar kajian pendekatan ideasional, makna fungsi ketiga adalah pusat pandang dari pendekatan behavioral.
Dalam pendekatan referensial, makna diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran manusia untuk menunjuk dunia luar.Sebagai lebel atau julukan, makna itu hadir karena adanya kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan kesimpulan yang keseluruhanny berlangsung secara subjektif.Terdapatnya julukan simbolik dalam kesadaran individual itu, lebih lanjut memungkinkan manusia untuk menyusun dan mengembangkan skema konsep. Kata pohon, misalnya, berdasarkan kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan, bukan hanya menunjuk jenis-jenis tumbuhan, melainkan memperoleh julukan sebagai “ciptaan”, “hidup”,  “fana”, sehingga pohon dalam baris puisi Goenawan Muhammad disebutnya.... berbagai dingin di luar jendela/mengekalkan yang esok yang mungkin tak ada.
Kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan dalam pemberian julukan, dan pemaknaan tersebut, berlangsung melalui bahasa.Akan tetapi, berbeda dengan bahasa keseharian, bahasa yang digunakan disitu adalah bahasa perseorangan atau private language (Harman, 1968).Dengan demikian, makna dalam skema konsep dapat merambah ke dunia absurt yang mempribadi dan terasing dari komunikasi keseharian.
D.  Pengertian Makna Dalam Pendekatan Ideasional
Kelemahan dalam pendekatan referensial, selain telah disebutkan diatas, juga dikaiakan dengan masalah adanya paradoksal antara keberantungan pada wujud yang diacu dan subjektifitas dalam memberi julukan. Selain itu, skema konsep yang dianggap bersifat individual, karena duni kita merupakan dunia yang satu ini jug,  pada akhirnya bisa menjadi milik bersama. Seorang petani adalah salah satu diantara petani lainnya, seorang penyair adalah satu diantara penyair lainnya. Kelemahan lain yang sangat menarik sehubungan dengan kajian dalam butir-butir ini adalah meniadakan hubungan hakiki makna dan bahasa sebagai hubungan antara bentuk dan isi, mencabut makna dari konvensi dan mengeluarkannya dair konteks komunikasi.
Dalam pendekatan idesional, makna adalah gambaran gagasan dari satu bentuk kabahsaan yang bersifat sewenang-wenang, tetapi memiliki konvensi sehingga dapat saling dimengerti. Gambaran kesatuan hubungan antara makna dan bentuk kebahasaan itu secara jelas dapat dikaji dalam perumus Grice,..... X meant that P adn X mean that P entail P. Dengan kata lain, X berarti P dan X memaknakan P seperti dimiliki ole P. X dalam konsep Grice adalah perangkat kalimat sebagai bentuk kebahasaan yang telah dimiliki satuan gagasan. Kalimat yang berbunyi, X memaknakan P seperti yang dimiliki P memberikan gambaran tentang keharusan memaknai X sebgai P seperti yang telah berda dalam konvensi bahwa P adalah P.
Meletakan komponen semantik pada adanya satuan gagasan, bukan berarti pendekatan idesional mengabaikan makna pada aspek bunyi, kata, dan frase. Jerrold J. Katz mengungkapkan bahwa penanda semantis dari bunyi, kata, dan frase sebagai unsur-unsur pembangun kalimat, dapat langsugn diidentifikasi lewat kalimat. Dengan mengidentifikasi unsur-unsur kalimat itu sebagai satuan gagasan, diharapkan pemaknaan tidak berlangsung secara lepas-lepas, tetapi sudah mengacu pda kesatuan makna yang dapat digunakan dalam komunikasi (Katz, dalam Steinberg & Jokobovist, 1978: 297). Sebab itulah, apabila X adalah kata, menurut Grice, X has meaning NN if it is used and comunication (Grice, 1957). Atau dengan kata lain, kata setelah berada dalam komunikasi memiliki potensialitas makna yang bermacam-macam. Mungkin makna 1,2,3... N.
Sehubungan dengan kegiatan berpikir, manusia berpikir menggunakan bahasa yang juga bisa digunakan dalam komunikasi. Sebab itulah, kegiatan kegiatan pengolahan pesan lewat bahasa atau encoding, penyampaian pesan lewat bahasa atau koding. 
Komponen pembabangun gagasan dalam enkode menurut Jerold Katz bisa saja tidak sama persis dengan kode. Akan tetapi, yang pasti, hubungan linear itu haru diikut daur, yakni hubunan timbal balik antara penyampai dan penerima pesan yang ditandai oleh adanya “saling mengerti”. Grice juga menyebutkan suatu bentuk kebahasaan itu dimaknai P oleh penutur adalah apabila pemaknaan P itu secara laras nantinya juga dimaknai P oleh pendengarnya.
E.  Pengertian Tentang Makna Dalam Pendekatan Behavioral
Dalam dua pendekatan yang telah diurai di depan, dapat diketahui bahwa (1) pendekatan reveresiala dapat mengkaji makna lebih menekankan pada fakta sebagai objek kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan secara individual, dan (2) pendekatan ideasional lebih menekankan pada keberadaan bahasa sebagai media dalam mengolah pesan dalam menyampaikan informasi. Keberatan dari pendekatan behavioral terhadap kedua pendekatan tersebut, salah satunya adalah, kedua pendekatan itu telah mengabaikan konteks sosial dansituasional yang oleh kaum behavioral dianggap berperan penting dalam menentukan makna.
Kritik lain terhadap pendekatan diatas adalah pada objek kajian utama yang justrul tidak pernah diobservasikan secara langsung. Pernyataan dalam kajian ideasional yang berkaitan dengan keselarasan pemahaman antara penutur dengan pendengar dalam memaknai kode misalnya, dalam pendekatan behavioral dianggap kajian spekulatif karena pengkaji dianggap tidak mampu meneliti karakteristik idea atau pikiran penutur pendengar, sejalan dengan katifitas pengolahan pesan dan pemahamannya. Sebab itualah, kajian makna yang bertolak dari pendekatan behavioral, mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang berlangsung dalam situasi tertentu (speech situation). Satuan tuturan atau unit tekecil yang mangandung makna penuh dari keseluruhan atau speech event yang berlangsung dalam speech situation disebut speech act (Hymes, 1972: 56).
Penentuan makna dalam speech act menurut Searle harus bertolak dari berbagai kondisi dan situasi yang melatari pemunculanannya (Searle, 1969). Unik ujaran yang berbunyi masuk!  Misalnya dapat berarti “di dalam  garis” bila muncul misalnya dalam permainan bulu tangkis, “berhasil” bagi yang main lotre, “silahkan ke dalam”  bagi tamu dan tuan rumah, ”hadir” bagi mahasiswa yang dipresetasi Pak Dosen. Makna keseluruhan unit ujaran itu dengan demikian harus disesuaikan dengan latar situasi dan bentuk sosial interaksi yang mengkondisikannya.
Konsep yang antara lain dikembangkan oleh Autin , Here, Searle, Alston, dll., akhirnya juga tidak dapat terlepas dari kritik. Kritik utama, yang datang dari Chomsky, menganggap bahwa meletakan unsur luar bahasa sejajar dalam  bahasa dalam rangka menghadirkan makna, berarti menghilangkan aspek kreatif bahasa itu sendiri yang dapat  digunakan untuk mengekpresikan gagasan secara bebas. Bahasa sebagai suatu sistem adalah “sistem dari sistem”. Perbendaharaan kata atau leksikon pemakaiannya bukan hanya memperhatikan kaidah leksikal dan gramatikal, melainkan juga ditentukan oleh refresentasi semantik. Konponen refresentasi semantik yang menunjuk dunia luar pada dasarnya telah mengandung “sistem luar biasa” itu ke dalam dirinya. Dengan demikian, konteks sosial dan situasional sebagai sutu sistem bukan berada di luar bahasa, melainkan berada di dalam dan mewarnai keseluruahan sistem kebahasaan itu sendiri (cf. Mc Cawley, 1978: 176) baru setelah unsur yang tercakup di dalam deep structure itu laras, hadirlah surface struture yang pemunculannya dalam tuturan juga memperhatikan kaidah fonologi atau phonological rules. Konsep demikian, sedikit banyak juga mewaranai kajian semiotik yang dilaksanakan oleh Moris.   
F.   Penerapan Tiga Pendekatan Dalam Studi Makna
Dari ketiga pendekatan yang telah diuraika diatas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan pertama mengaitkan makna dengan masalah nilai juga proses berfikir  manusia dalam memahami realitas lewat  bahasa secar benar, pendekatan kedua mengaitkan makna dengan kegiatan menysun dan meyampaikan kegiatan lewat bahas, dan pendekatan ketiga mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa dalam konteks-sosialsituasional. Dengan demikian, keberadaan ketiga pendekatan tersebut lebih menyerupai satu rangkaian. Sebab itulah, Gilbert H. Harman, misalnya, yang tidak menyetujui pemakaian ketiga istilah pendekatan tersebut, lebih puas dengan menggunakan istilah three levels of meaning (1968)
Lebih lanjut, konsep dalam ketiga pendekatan itu masing-masing terus berkembang dan menebarkan pengaruhnya. Konsep dalam pendekatan pertama, misalnya yang dilandasi pemikiran para fisup seperti John Dewey, Rudolf  Carnap, maupun Bertad Russell, akhirnya memang lebih dengan kontemplasi dalam upaya memahami realitas secara benar. Kajian yang erat dengan masalah filsafat itupun sebenarnya tidak asing dari kehidupan manusia pada umumnya. Hal itu terjadi karena di samping mahluk berpikir, manusia adalah juga mahluk pencari makna, kegiatan soliloquy, ngudarasa, atau yang oleh Pak Anton Mulyono diindonesiakan dengan ekacakap, oleh Dewey diartikan sebagai ......... is the product and reflex of converse with others, sebagai suatu dialog antara diri dengan dunia luar yang telah bersif.....transedental.
Selain itu, dalam tingkatan yang paling sederhana, kata itu sendiri hadir karena adanya dunia luar. Kat perang bintang atau kartika yuda, bis susun, jembatan layang, adalah kata-kata yang hadir untuk menamai luar. Dengan demikian, pada tingkat awal, antara makan dan dunia luar. Dengan demikian, pada tingkat awal, antara makna dengan dunia luar memang terdapat wigati. Sebab itulah dalam kajian semantik, pendekatan referensial umumnya digunakan pada awal kajian. Bahkan tokoh seperti Stephen Ulman yang banyak memberikan kritikan terhadap refresential, konsep yang diajukan sehubungan dengan keberadaan makna, yakni name, ‘bentuk fonetis kata’ sense ‘pengertian’, serta thing ‘referen  acuan’ tidak lebih hanya pembahasan dari model pembagian signifiant dan signifie dari Sausure yang digabungkan dengan Basic triangle Ogden & Richard yang sebagai konsep yang oleh Ulman diketahui bertolak dari pendekatan referensial (Ulman, 1977:57)
Apabila pendekatan referensial lebih berpusat pada masalah “bagaimana mengolah suatu realitas secara benar” maka kajian semantik lewat pendekatan lewat pendekatan ideasional lebih menekankan pada masalah “bagaimana menyampaikan makan lewat struktur kebahasaan secar benar tanpa mengabaikan kesalarasan hubungannya dengan realitas”. Pusat permasalahan dalam pendekatan ideasional itu dalam kajiannya ternyata menunjukan adanya perbedaan. Pengkajian semantik yang bertolak dari kajian pandangan generatif transformasi, misalnya, meskipun sama-sama bertolak dari konsep dasar bahwa tata bahasa dalam setiap bahasa adalah a system of rules that expreses the correspondence between sound and meaning in this language (Comsky, 1971: 182), dalam pengembangan berikutnya menghadirkan dua kubu yang berbeda. Kedua kubu tersebut lazim disebut (1) semantik interpretif yang dikembangkan antara lain oleh Katz, Fodor, maupun Comsky sendiri dan Morris Helle, serta (2) semantik generatif yang dikembangkan sendiri oleh filmore, Bach, R lakop, George Lakoff, Mc Kauley, dan lain-lain (Lakoff, 1971: 232).
Perbedaan utama dari kedua itu ialah, kajian dalam semantik iteretatif beranggapan bahwa komponen refresentasi semantik memiliki tingkatan tersendiri sebelum deep strukture. Komponen refresentasi sematik itu berisis semantik content of lexical item yang akhirnya membentu post leksikal strukture sebagai butir leksikon yang membangun deep strukture (Chomsky, 1971: 185) wawasan tersebut tidak sesuai dengan pandangan semanti generatif yang sebenarnya juga berpijak pada konsep generatif transformasi yang dikembangkan oleh Chomsky. Bagi mereka, pemilihan tingkat komponen refresentasi sematis lewat struktur dalam itu pad dasarnya tidak perlu karena keduanya identik.
G. Peroses Kejiwaan dan Penguasaan Lambang Dalam Pemaknaan
Dalam komunikasi sehari-hari, keempat unsur yang disebutkan Osgood di atas, bisa jadi tampil secara simultan dan spontan.akan tetapi adankalanyaproses mekanistis itu mengalami hambatan. Hali itu terjadi apabila penanggap menjumpai bentuk kgusus yang berada di luar pembendaharaan pengalamannya dalam komunikasi keseharian. Bentuk khusus tersebut menjadi “sesuatu yang asing” bagi penanggap, mungkin karena (a) pilihan kata dan penataan stukturnya, (b) acuan maknanya sudah dipertinggi,atau mungkin (c) gambar peristiwanya telah terasa lepas dari kehidupan rutin keseharian. Kalimat Goenawan Mohammad yang berbunti Sang Iblis adalah kecongkakan diterkam oleh fikiran ragu,adalah slah satu contoh paparan itu secara keseluruhan. Contohnya lain paparan demikian dpat dijumpai di dalam karya sastra, baik puisi maupun prosa fiksi.
Menjumpai paparan demikian, proses psikologis penanggap dalam upaya memahaminya menjadi rangkap. Hal itu terjadi karena kata bukan hanya berkaitan dengan denotatum, melainkan juga desingnatum. Dalam kegiatan designatif, mungkin sekali terjadi pembayangan yang bertentangan, mendatangkan keraguan. Dan mungkin juga absurd. Maka bukan hanya menunjuk pada tanda, bukan hanya menunjuk pada fakta keseharian, melainkan juga menunjukan hanya pada sesuatu yang mempribadi, pada realitas lain yang transcendental.
Dalam situasi demikian memory bukan hanya berkaitan dengan ingatan makna kata, relasi makna dalam stuktur maupun pemakaian, melainkan juga menunjuk pada skema konsep pada sejumlah julukan suatu fakta yang dibentuk oleh pikiran maupun pengetahuan penanggap. Dalam hal demikian itulah, konsep makna seperti yang diajukan oleh teori referensial menjadi begitu wigati. Sebab itulah, penanggap yang menguasai bahasa hanya pada tataran fungsi instrumental, yakni sebagai alat dalam memenuhi kebutuhan fisis sehari-hari, akan membaca paparan itu sebagai sesuatu yang “aneh”. Dalam hal demikian, keberadaan bahasa dalam fungsi personal, heuristik, dan imajinatif, sedikit banyak sudah harus dirambah oleh penanggap.  


BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
Dapat disimpulkan pendekatan semantik ada tiga aspek, Pendekatan pertama mengaitkan makna dengan msalah nilai sea proses berpikir manusia dlam memahami realitas lewat bahasa secara benar, pendekatan kedua mengaitkan makna dengan kegiatan menyusun dan mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa, dan pendekatan ketiga mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa dlam konteks sosial-situasional.
B. SARAN
Mengingat terbatasnya pengetahuan tim penulis, begitu pula kurangnya rasa ingin tahu dari tim penulis. Berharap pembaca bisa memaklumi jika terdapat adanya kesalahan dalam penulisan atau kata-kata dalam makalah yang tim penulis susun. Adapun kebenaran itu datangnya dari Allah SWT dan kekurangannya datangnya dari tim penulis. Tim penulis berharap pembaca tidak puas dengan makalah yang tim penulis buat ini dan pada akhirnya pembaca akan terus memperdalam pengetahuan yang sangat luas. Dalam makalah ini juga, tim penulis butuh kritikan dan saran guna perbaikan dimasa yang akan datang.




DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, 1985, Semantik Pengantar studi tentang makna, Malang: Sinar Baru Algensid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Penilaian Akhir Semester 1 (PAS) Tahun Ajaran 2022-2024

Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar! 1.     Saat membuat teks hasil observasi, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam teks hasil ob...